Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Di Balik Klaim Swasembada Beras
Nasional Politik Pemerintahan

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Di Balik Klaim Swasembada Beras

Nov 21, 2025
Presiden Prabowo Subianto bersama dengan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman saat kunjungan kerja.

Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto diwarnai dengan klaim besar-besaran mengenai keberhasilan di sektor pangan, khususnya beras. Klaim surplus, cadangan beras yang kuat, serta berakhirnya ketergantungan impor menjadi narasi utama yang disampaikan kepada publik. Namun demikian, klaim tersebut perlu diuji secara kritis. Realitas di lapangan jauh lebih kompleks dan justru memperlihatkan sejumlah kelemahan dalam tata kelola, pengawasan, dan kepastian hukum di sektor pangan nasional.

Pertama, persoalan distribusi yang tidak merata dan lamban menyebabkan penumpukan stok dalam jumlah besar. Kondisi tersebut memicu penurunan kualitas beras, sebagaimana terlihat dari berbagai temuan tentang stok beras yang menguning akibat terlalu lama disimpan. Bila cadangan beras tidak dikelola dengan standar penyimpanan yang baik, fungsi cadangan menjadi lemah. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi bukti nyata rapuhnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas lembaga publik yang seharusnya menjamin ketersediaan pangan layak bagi masyarakat.

Kedua, lemahnya regulasi mutu pangan semakin diperjelas oleh berbagai temuan terkait rendahnya kualitas beras dan pengemasannya. Kasus beras premium yang ternyata berisi beras oplosan bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga menunjukkan minimnya iktikad negara dalam memberikan perlindungan. Dalam perspektif hukum, kualitas pangan merupakan hak dasar masyarakat. Ketika tidak ada sanksi tegas terhadap pelanggaran standar mutu beras, negara telah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk menjamin keamanan pangan.

Jika dianalisis melalui kerangka teori good governance, kelemahan-kelemahan tersebut mencerminkan kegagalan memenuhi prinsip akuntabilitas, efektivitas, dan transparansi. Swasembada pangan yang hanya mengejar angka tanpa disertai perbaikan manajemen distribusi dan pengawasan mutu tidak akan menghasilkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dari perspektif principal–agent theory, Bulog sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menyediakan beras berkualitas justru terjebak pada orientasi kuantitas ketimbang kualitas.

Lebih jauh lagi, dalam konteks rechtsstaat, negara memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan yang aman dan layak. Ketika cadangan beras mengalami penurunan kualitas hingga berpotensi membahayakan kesehatan konsumen, hal itu menjadi indikator bahwa pengawasan mutu tidak berjalan. Situasi ini mencerminkan kegagalan negara dalam memenuhi prinsip dasar negara hukum, yaitu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya melalui kebijakan yang efektif.

Seharusnya, tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi momentum untuk memperkuat fondasi hukum dan tata kelola pangan, bukan sekadar menonjolkan klaim keberhasilan. Ke depan, pemerintah perlu memperketat standar mutu beras, memberlakukan sanksi tegas bagi pelanggar, serta memperbaiki sistem pengawasan melalui auditor independen. Tanpa langkah-langkah tersebut, swasembada pangan hanya akan menjadi slogan politik belaka.

Swasembada pangan bukan hanya soal tingginya produksi atau penuhnya stok. Ia menyangkut kepastian hukum, regulasi yang kuat, serta jaminan bahwa seluruh masyarakat dapat memperoleh beras yang aman, layak, dan terjangkau. Jika pemerintah ingin menjadikan swasembada sebagai warisan kebijakan, maka fondasi tata kelola yang baik dan kuat harus dibangun—bukan sekadar narasi yang digaungkan.

Penulis: Lalu Muhammad Amar Fawazi, Syarif Hidayatullah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *